Oleh Zulfikar Muhammad
SEMANGAT para pegiat demokrasi Aceh untuk mengaktifkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di wilayah ini akhirnya pudar sudah. Qanun Aceh No.17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, yang telah disahkan oleh DPRA dan Pemerintah Aceh pada Desember tahun lalu bukan hanya dimentahkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Bahkan Qanun KKR ini bernasib naas karena Pimpinan DPRA yang notabenenya petinggi Partai PA, Partai Golkar, Parta Demokrat meminta komisi A DPRA untuk menunda pembentukan Panitia Seleksi KKR untuk waktu yang takterbatas.
Dalam surat klarifikasinya kepada Gubernur Aceh pada April lalu, Mendagri Gamawan Fauzi menegaskan bahwa Qanun KKR Aceh belum bisa diberlakukan di Aceh. Alasannya sangat membingungkan. Satu sisi Mendagri mengatakan bahwa Qanun KKR Aceh hanya bisa berlaku kalau sudah ada UU KKR sebagaimana ketentuan Pasal 229 UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Tapi di sisi lain ia mengatakan kalau persoalan Qanun KKR Aceh itu karena masalah substansi yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan peraturan daerah. Karena alasan itu, Mendagri meminta Gubernur Aceh berkoordinasi dengan DPR Aceh untuk merevisi qanun tersebut.
Dari rekomendasi ini terihat kalau Mendagri bersikap ambigu terhadap qanun tersebut. Padahal kalau ia hanya merujuk kepada Pasal 229 UUPA, harusnya alasan lain tidak perlu digunakan lagi. Pasal 229 itu menyatakan kalau KKR Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dari KKR nasional. Artinya, sebelum terbentuk KKR Nasional, maka KKR Aceh belum bisa dibentuk. Dengan alasan ini saja, sebenarnya sudah cukup bagi Mendagri untuk menegaskan bahwa Qanun KKR Aceh ditolak Pemerintah pusat. Tidak perlu lagi ia berkomentar soal substansi qanun itu. Ia pun tidak perlu meminta Gubernur Aceh dan DPRA merevisi qanun itu. Dengan kata lain, sebenarnya Pemerintah pusat tidak setuju KKR hadir di Indonesia, khususnya di Aceh.
Kalaupun klausul KKR ini sempat masuk dalam MoU Helsinki dan UUPA, semata-mata hanya untuk memuluskan proses dialog sekaligus untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Pemerintah Indonesia memiliki niat untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Namun semua itu hanya retorika di atas kertas. Pada kenyataannya, tidak ada niat pemerintah untuk menghadirkan KKR di Indonesia, apalagi Aceh. Padahal dalam Pasal 260 UUPA ditegaskan “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 berlaku efektif paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Karena UUPA disahkan pada 1 Agustus 2006, maka seharusnya KKR Aceh sudah bekerja sejak 1 Agustus 2007.
Mendagri tidak jujur
Mendagri hanya mengandalkan Pasal 229 UUPA untuk mementahkan KKR Aceh. Sebaliknya, ia sama sekali tidak mau mengungkit Pasal 260 ini. Sebagai seorang pejabat negara yang harusnya objektif melihat UU, jelas sekali kalau Mendagri tidak jujur. Ia tidak jujur mengakui kesalahan Pemerintah atas ingkar janji sebagaimana ditegaskan dalam UU, tapi mencari seribu alasan untuk membatalkan KKR yang diperjuangkan rakyat Aceh. Sikap ini sebenarnya sudah cukup untuk menjawab bahwa peluang menghadirkan KKR di Aceh semakin kecil kemungkinannya. Kalaupun itu ada, cara yang diinginkan pemerintah adalah masyarakat Aceh menunggu sampai draf UU KKR disahkan DPR RI. Tapi kapan pengesahan itu?
Sejak dua tahun lalu Pemerintah mengaku sudah menyiapkan draf tersebut, tapi sampai sekarang tidak ada bukti. DPR RI juga belum pernah mengagendakan untuk membahas rancangan UU KKR. Itu berarti, rakyat Aceh harus menunggu dalam ketidakpastian, sebab Pemerintah telah mengunci KKR Aceh dengan pasal 229 UUPA. Padahal dalam pandangan para hukum, Pasal 229 itu bukanlah pintu untuk membentuk KKR Aceh. Dalam Pasal 7 ayat (1) UUPA menegaskan kalau “Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.”
Sementara dalam ayat (2) ditegaskan pula enam kewenangan yang tidak bisa ditangani Pemerintah Aceh, yakni politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. Enam kewenangan sepenuhnya menjadi otoritas pemerintah pusat. Artinya, untuk pembuatan qanun atau peraturan daerah yang bukan merupakan urusan pemerintahan bersifat Nasional, menjadi kewenangan Pemerintah Aceh. Atas dasar ini pula Pemerintah Aceh berhak melahirkan Qanun Wali Nanggroe, Qanun Bendera dan qanun lainnya.
Pintu kewenangan inilah yang digunakan Pemerintah Aceh dan DPRA dalam membahas qanun KKR. Atau dalam bahasa sederhana bisa disebutkan bahwa ada dua pintu hukum untuk melahirkan KKR di Aceh berdasarkan UUPA, yaitu Pasal 229 yang menyatakan bahwa KKR Aceh akan bisa dibentuk setelah adanya KKR Nasional, dan satunya lagi adalah berdasarkan kewenangan Aceh sebagaimana disebutkan pada Pasal 7 UUPA. Karena Pasal 229 tidak mungkin digunakan saat ini, maka wajar kalau DPRA dan Pemerintah Aceh menggunakan jalur Pasal 7.
Jika Mendagri mengatakan bahwa KKR hanya bisa dibentuk berdasarkan Pasal 229, jelas itu pandangan keliru. Alasan ini hanya untuk menunjukkan kepada publik bahwa sesungguhnya Pemerintah keberatan jika KKR hadir di negeri ini. Kehadiran KKR dikhawatirkan bisa mencoreng muka pemerintahan Indonesia di masa lalu yang kental dengan berbagai kasus pelanggaran HAM. Lagi pula Pemerintah tidak ingin mengeluarkan kompensasi apa pun atas peristiwa kekerasan di masa silam. Seakan pemerintah ingin mengatakan kepada dunia bahwa tidak pernah ada pelanggaran HAM di Indonesia. Pemerintah juga ingin mengatakan bahwa persoalan Aceh telah selesai sejak ditandatanganinya perjanjian damai Helsinki dan berkuasanya para elite GAM.
Padahal film dokumenter The Art of Killing karya Joshua Oppenheime telah nyata-nyata menelanjangi wajah Pemerintah Indonesia di mata dunia terkait sejumlah kasus pembantaian yang terjadi di Republik ini. Tidak terkecuali pembantaian di Aceh. Data BRA menyebutkan, sejak konflik Aceh meradang pada 1976 hingga 2005 setidaknya lebih dari 23 ribu korban yang tewas dan ribuan orang yang mengalami cacat fisik. Dendam para korban konflik itu tidak akan pernah reda meski telah lahir kesepakatan damai.
Perjanjian damai hanyalah untuk menghentikan perang, bukan menghapus dendam. Secara psikologis, sikap dendam hanya bisa dihilangkan jika ada proses rekonsiliasi konkrit melibatkan pelaku dan korban atau keluarganya. Sayangnya, selama hampir sepuluh tahun perdamaian Aceh, proses rekonsiliasi sama sekali belum pernah dilakukan. Sejauh ini yang dilakukan hanya reparasi, seperti mengobati orang yang luka, mengganti rumah yang terbakar, serta memberi kompensasi uang untuk keluarga korban.
Dalam teori transisi konflik, reparasi ini jelas tidak cukup menuntaskan dendam. Ada tiga langkah lain yang perlu dilakukan untuk melengkapinya, yaitu lewat pengungkapan kebenaran, proses rekonsiliasi dan melakukan reformasi insititusi. Sejauh ini reformasi institusi sedang berjalan. Seperti yang kita dengar, TNI dan Polri sudah melakukan berbagai perubahan kebijakan di internalnya.
Demikian juga dengan sistem pemerintah yang sedang gencar-gencarnya melakukan reformasi birokrasi. Namun untuk dua langkah lainnya, yaitu pengungkapan kebenaran melalui KKR dan rekonsiliasi nyaris tidak pernah ada. Jika Pemerintah menolak kedua langkah ini, itu artinya Pemerintah masih ingin menghadirkan dendam di kalangan keluarga korban. Dengan lain, penolakan KKR merupakan kebijakan Pemerintah dalam mereproduksi konflik, sehingga bukan tidak mungkin konflik yang sama muncul lagi di masa depan.
*Zulfikar Muhammad, Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh.
Email: zulfikar@koalisi-ham.org
Email: zulfikar@koalisi-ham.org
Sumber ( www.serambinews.com/ Edisi Kamis 17 Juli 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar