" Menciptakan Generasi Muda yang Kritis dan beradap "

Sabtu, 08 November 2014

“Blusukan” (kerja) Kabinet Kerja



“Blusukan” (kerja) Kabinet Kerja

Oleh,
Amri W. Hidayat




Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada 27 oktober 2014 telah resmi melantik menteri kabinet nya dengan nama “kabinet kerja”. sebelum pelantikan tersebut selama satu minggu lamanya polemik terhadap pelantikan menteri-pun berkembang dalam masyarakat, dari mengapa pelantikan kabinet dengan menteri-menterinya terus di tunda-tunda, hingga siapa yang memang benar-benar tepat mengisi pos menteri apakah dari kalangan professional atau dari kalangan politikus yang berlatar parpol. Terlepas dari segala polemik yang telah berkembang akhir-akhir ini terkait isu “menteri” pada kabinet kerja yang berjumlah 34 kementrian, ada hal menarik yang muncul setelah pelantikan para menteri dari duet Jokowi-Jk ini. Hal tersebut adalah bagaimana kinerja para menteri hari ini, dengan tren “blusukan” yang dibawa oleh Jokowi semenjak masa menjadi Wali Kota Solo kemudian menjadi Gubernur Jakarta yang mana mulai di ikuti oleh menteri-menterinya. Terlihat dalam berita media cetak dan siaran televisi betapa menteri-menteri kabinet kerja di sorot ketika melakukan blusukan, hal ini semakin menarik ketika yang ikut melakukan blusukan sama halnya dengan yang dilakukan Jokowi ini bukan hanya dilakukan oleh satu menteri, namun bisa dibilang para menteri berlomba-lomba untuk blusukan. Hal tersebut ternyata bukanlah hal yang muncul dari inisiatif menteri, melainkan instruksi dari Presiden Jokowi. Khofifah Indar Parawansa (Menteri sosial) saat blusukan ke Wisma Seroja, Bekasi, Kamis (6/11/2014) sore. Dia mengatakan, “Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada menteri Kabinet Kerja untuk turun ke lapangan”. Mungkin inilah penyebab mengapa setelah dilantik para menteri hilir mudik muncul di media saat blusukan.

Lantas, apa tugas menteri sesungguhnya? Pada tulisan ini penulis akan mengambil sampel Kementerian Perdagangan. Tidak bermaksud untuk menyudutkan satu pihak karena akhir-akhir ini Menteri perdagangan Rahmat Gobel–lah yang paling sering blusukan, melainkan sebagai pembelajaran. Tugas pokok menteri perdagangan adalah membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian tugas pemerintah di bidang perdagangan. Sedangkan fungsinya adalah 1) Perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidang perdagangan; 2) Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Perdagangan; 3) Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Perdagangan; 4) Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Perdagangan di daerah; 5) Pelaksanaan Kegiatan teknis yang berskala nasional. (sumber: www.kemendag.go.id)

Dari pemaparan tugas dan fungsi menteri perdangan di atas terlihat jelas bahwa blusukan atau suatu kegiatan dimana seorang menteri meninjau langsung pasar-pasar, menanyakan bagaimana keadaan pasar, mengontrol harga-harga komoditas barang dipasar, ataupun berkeluh kesah dengan pedagang jelas bukan sebagaimana mestinya tugas dan fungsi dari seorang menteri. Hal-hal yang didapat dari blusukan tidak lebih dari persosalan-persoalan mikro. Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina menyatakan bahwa perilaku blusukan yang dilakukan beberapa menteri pada pemerintahan Jokowi-JK dalam kondisi saat ini hanya menyelesaikan persoalan pada level mikro. "Atau hanya sebatas aksi-aksi insidentil”, Jakarta, Selasa (4/11). Memberikan ulasan mengenai perilaku blusukan beberapa menteri Kabinet Kerja Jokowi-JK, ia melihat kurang tepat, di tengah jelasnya persoalan bangsa ini yakni kesenjangan sosial dan ekonomi antara kelas atas dan bawah yang masih sangat tinggi. Kondisi itu, kata dia, masih terdapat perbedaan yang sangat tajam antara pendapatan seorang komisaris di suatu perusahaan/BUMN yang sangat tinggi dengan kesejahteraan buruh, petani dan nelayan. Tindakan blusukan dalam pendekatan sosiologi pada konteks ini ditegaskan oleh Nia Elvina, hanya menyelesaikan persoalan dalam tingkat mikro saja. "Saya kira permasalahannya sangat jelas, sehingga tindakan para menteri yang blusukan ini, maknanya akan dipahami oleh masyarakat sebagai tindakan yang hanya ingin meningkatkan image," katanya. (sumber: REPUBLIKA.co.id)

Penulis sepakat dengan pernyataan Sosiolog Unas tersebut bahwa tindakan blusukan menteri Jokowi-Jk akhir-akhir ini hanyalah upaya untuk meningkatkan image. Hal ini semakin jelas kiranya pada saat tiga menteri Kabinet Kerja blusukan mengecek aktivitas perdagangan sayur mayur dan buah di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, Sabtu dini hari (1/11). Ketiga menteri itu yakni menteri perdagangan Rahmat Gobel, menteri pertanian Amran Sulaiman, dan menteri koperasi Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga. Dan diikuti rombongan wartawan, tiga menteri ini menyambangi sejumlah pedagang sayur dan buah. Kunjungan tersebut-pun dimaksudkan tiga menteri ini untuk mengecek harga sayuran dan buah dengan menanyakannya langsung kepada para pedanga yang ada di pusat sayur-mayur itu. Apa yang janggal dari peristiwa ini menurut penulis adalah ketika blusukan tiga orang menteri ini dilakukan pada waktu dini hari atau sekitar pukul 1 pagi, namun diikuti oleh segerombolan wartawan bersama para menteri. Lagi-lagi bisa dikatakan bahwa hal ini hanyalah sekadar mencari popularitas dan upaya untuk meningkatkan image, karena kalau-pun memang harus blusukan dan untuk mencari atau mengetahui apa masalah yang ada dilevel mikro atau pada pedagang-pedagang di pasar tradional, haruskah semuanya dirorot dan diberitakan oleh media?

Oleh dari itu, sebaiknya para menteri Kabinet Kerja, harus memahami dengan baik tugas dan fungsinya sebagai pembantu Presiden untuk menyelesaikan masalah-masalah pemerintahan didalam kementeriannya. Terkait persoalan blusukan sebenarnya bukan soal yang buruk namun juga tidak menjadi tugas dan fungsi yang mendasar dari sorang menteri, terlebih jika blusukan yang dilakukan bukan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, melainkan kepentingan pribadi menteri ataupun Presiden. Banyak persoalan-persoalan mendasar pada kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelumnya, yang bersifat persoalan makro dan belum terselesakan, seperti program pembangunan masyarakat yang stagnan, koperasi mati suri, program reforma agraria yang stagnan, serta reformasi birokrasi yang belum berjalan. Ada baiknya para menteri kabinet kerja mulai berkerja dan berupaya menyelesaikan masalah-masalah makro yang memang seutuhnya menjadi tugas dan tanggung jawabnya kepada Presiden, tanpa memungkiri bahwa persoalan-persoalan mikro-pun juga harus terselesaikan karena berdampak langsung kepada masyarat Indonesia. Semoga lima tahun kedepan seluruh menteri yang berada di dalam kabinet kerja dapat memberikan sumbangsihnya terhadap kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Masyarakat juga harus pintar-pintar menilai “blusukan” yang dilakukan kabinet kerja.

Penulis Adalah Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala dan Juga Siswa di Sekolah Anti Korupsi Aceh (SAKA) angkatan V. dapat dihubungi di Amriwahidayat@gmail.com

Jumat, 07 November 2014

THOMAS HOBBES: NEGARA KEKUASAAN SEBAGAI LEVIATHAN

THOMAS HOBBES:
NEGARA KEKUASAAN SEBAGAI LEVIATHAN

OLEH : FURQAN



Thomas Hobbes mengibaratkan negara sebagai leviathan, 
sejenis monster (mahkluk raksasa) yang ganas 
menakutkan dan bengis.

A. KONTEKS SOSIO-HISTORIS DAN BIOGRAFI SINGKAT

Hobbes dilahirkan dalam keluarga miskin. Ayahnya seorang pendeta, mengirimkan Hobbes pada seorang paman yang kaya. Pamannya inilah yang membesarkan dan mendidik Hobbes. Atas bantuan keuangan  pamannya Hobbes belajar di universitas Oxford. Banyak peristiwa sosial politik yang mempengaruhi pemikiran Hobbes, diantaranya pertentangan antara gereja, kaum puritan dan kaum katolik serta konfrontasi antara raja dan parlemen. Oleh sebab itu dia terobsesi untuk mencari pemecahan masalah bagaimana perang dan konflik bisa dihindari dan terciptanya perdamaian. Hobbes menyimpulkan. Pertama, salah satu sebab terjadinya perang agama, sipil dan konflik konflik sosial adalah karena lemahnya kekuasaan negara. Kedua, perang dapat dihindari  dan terciptanya perdamaian bila kekuasaan negara  mutlak, tidak terbagi bagi. Demokrasi bagi hobbes adalah malapetaka politik yang mesti dihindari. Dalam mencari pemecahan masalah Hobbes mempertanyakan bagaimana masyarakat dapat diatur sehingga konflik sosial dapat dihindari, bagaimana hubungan antara hukum, negara, kekuasaan dan moralitas dalam kaitannya dengan usaha menciptakan perdamaian, Bagaimana persoalan perang sipil dan agama?. Di sini dia menghadapi kenyataan kontradiktif ketika kaum agama menyatakan perjuangan mereka berdasarkan norma dan nila agama yang luhur, tetapi kenyataannya kaum agama muncul dalam sejarah sebagai aktor aktor politik yang bengis dan kejam.Dari pengamatan itu Hobbes menarik dua kesimpulan: Pertama menata masyarakat berdasarkan prinsip prinsip normatif seperti agama dan moralitas tidak mungkin. Prinsip prinsip itu hanyalah kedok emosi dan nafsu hewani yang rendah. Kedua, masyarakat bisa mewujudkan perdamaian hanya apabila mampu mengeyahkan hawa hawa nafsu itu, damai tercipta bila manusia terbebas dari hawa nafsunya.

MANUSIA DALAM PANDANGAN HOBBES

Menurut Hobbes manusia adalah pusat segala permasalahan sosial dan politik. manusia tidak bisa didekati secara normatif religius, cara terbaik menurut Hobbes  adalah mendekati manusia sebagai sebuah alat mekanis dan memahaminya dari pendekatan matematis-geometris.Tokoh – tokoh yang mempengaruhi pemikiran Hobbes adalah : Francis Bacon (Inggris), Rene Descartes (Prancis), Galileo Galilei (Italia).

Hobbes mengakui kekuatan akal dan naluri manusia itu sama kuatnya. Alam memang telah mengatur demikian, dan hakikat alamiah tersebutlah yang akhirnya melahirkan persaingan sesama manusia. Dan Hobbes berpendapat bahwa kehidupan manusia akan selalu diwarnai persaingan dan konflik kekuasaan.

Pertarungan sesama manusia itu diperkuat oleh tiga faktor, menurut Hobbes. Yaitu: Kecendrungan alamiah manusia untuk meraih kebesaran tertinggi, bagi manusia kebesaran diri merupakan bentuk kebahagiaan tertinggi, Kesetaraan manusia karena secara alamiah manusia tak ada yang lebih kuat dari manusia lainnya. Faktor agama. Agama bisa memperuncing konflik. Hobbes kurang simpatik terhadap agama, bukan saja menganggap sebagai pemicu konflik antara manusia bahkan dia menganggap agama itu takhayul dan produk rasa takut. Dan rasa takut manusia akan kekuatan di luar dirinya membuat manusia percaya pada agama, roh-roh dan tuhan.

STATE OF NATURE DAN TERBENTUKNYA NEGARA

Hobbes melukiskan keadaan manusia sebelum terbentuknya  negara sebagai keadaan alamiah. Dalam keadaan alamiah manusia bebas  melakukan apapun yang dikehendakinya sesuai tuntutan nalurinya. Dalam keadaan alamiah manusia bukan lah seperti hewan, meski sama-sama memiliki naluri, naluri hewan mendorong untuk berkompromi, sedangkan naluri manusia mendorong untuk berkompetisi dan berperang. Di sinilah akal dan nalar berperan, yang membimbing manusia untuk berdamai dan nalar manusia merasa membutuhkan “kekuatan bersama” yang bisa menghindari pertumpahan darah. Akal mengajarkan bahwa manusia sebaiknya hidup damai di bawah kekuasaan negara dan hukum dari pada hidup bebas tapi anarkis dan berbahaya bagi keselamatan manusia. 

Hobbes berpendapat terbentuknya kedaulatan atau negara pada hakikatnya adalah perjanjian sosial, dalam perjanjian itu manusia dengan sukarela menyerahkan hak-haknya kepada seorang penguasa negara atau dewan rakyat. Negara versi Hobbes memiliki kekuasaan mutlak. Kekuasaanya tidak boleh terbelah. Jika terbelah akan timbulnya anarki, perang sipil atau perang agama. Karena kekuasaan negara mutlak maka akan melahirkan negara despotis/tirani. Tapi itu lebih baik menurut Hobbes daripada terjadi anarki akibat terbelah kekuasaan.

Untuk menghindari perang dan menciptakan perdamaian negara kekuasaan yang memilii sifat-sifat leviathan (kuat, kejam dan ditakuti) merupakan pemecahan masalah terbaik dalam hal ini. Hobbes tidak setuju dengan demokrasi atau sejenis dewan rakyat sebab negara demokrasi menuntut adanya pluralisme politik termasuk adnya berbagai pusat-pusat kekuasaan. Menurut Hobbes monarki absolut hanya ada seorang penguasa adalah bentuk negara terbaik. Dengan hanya seorang penguasa rahasia-rahasia negara akan mudah dijaga. Keamanan negara lebih terjamin.Negara dengan penguasa dewan rakyat akan mudah mengalami disintegrasi dan dalam membuat sebuah keputusan, kesepakatan sulit untuk tercapai.

Ada kesan Hobbes tidak menolak munculnya nepotisme dalam proses pergantian penguasa. Konsekuensinya Hobbes bisa membenarkan pengangkatan seorang penguasa atas dasar keturunan, suatu prinsip yang dianut raja-raja Eropa di abad-abad pertengahan.

Penulis Adalah Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala Angkatan 2012. dapat dihubungi di Alamat FB : Furqan Balatentara.

Sabtu, 25 Oktober 2014

MoU Helsinki Menurut Konvensi Wina 1969


MoU Helsinki Menurut Konvensi Wina 1969




Oleh
Yusuf Al-Qardhawi Al-Asyi

SEMBILAN tahun silam, tepatnya 15 Agustus 2005, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menetapkan sebuah kesepakatan politik yang menentukan bagi masa depan Aceh yang tak asing lagi didengar, yaitu Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Proses terwujudnya MoU Helsinki telah dirintis sejak tahun 2000 pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Proses perundingan soft power yang difasilitasi oleh Henry Dunant Centre (HDC) itu melahirkan Jeda Kemanusiaan I dan II (Joint Understanding on Humanitarian Pause For Aceh), serta Moratorium Konflik yang ditandatangani pada 12 Mei 2000 di Jenewa, Swiss. Jeda Kemanusiaan ini berakhir 15 Januari 2001 dengan tidak menghasilkan kemajuan apapun, bahkan keamanan Aceh semakin tidak stabil(Sumaryo Suryokusumo, 2007:128).

Selanjutnya, pada 9 Desember 2002, diadakan perundingan CoHA(Cessation of Hostilities Agreement) atau Perjanjian Penghentian Permusuhan di Jenewa, Swiss. Perundingan yang juga difasilitasi HDC ini mendapat dukungan dari banyak negara, seperti Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Thailand, Denmark, Prancis, Australia, Qatar, Malaysia, Inggris, Pilipina, dan Swedia. Bahkan, delegasi negara-negara tersebut mengadakan Konferensi Internasional pada 3 Desember 2002 dalam rangka membantu pembangunan kembali Aceh. Turut hadir juga dalam konferensi tersebut perwakilan Uni Eropa, Asia Development Bank (ADB), World Bank, UNDP, dan pihak HDC sendiri(Qardhawy, 2014:176).

Pada perundingan 9 Desember 2002, para pihak menyepakati beberapa poin penting untuk menghentikan konflik di Aceh. Kedua belah pihak sepakat untuk tidak meningkatkan intensitas militer, kemudian mendukung proses dialog inklusif yang difasilitasi oleh HDC, dan membentuk JSC (Joint Security Council) yang anggotanya terdiri atas perwira senior TNI mewakili Pemerintah Indonesia, pejabat GAM, dan pihak ketiga yang ditunjuk oleh kedua belah pihak.

Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk menghentikan konflik, namun gagal menciptakan kondisi kondusif secara signifikan di Aceh, bahkan pihak HDC mengundang kedua belah pihak untuk berunding di Tokyo yang digelar pada 17 Mei 2003. Pemerintah RI mengajukan tiga syarat perundingan, yaitu GAM mengakui NKRI, menerima otonomi khusus sesuai UU No.18/2001, dan meletakkan senjata. Namun pihak GAM menolak, akhirnya Presiden Megawati Soekarnoputri membatalkan perundingan tersebut dan mengeluarkan kebijakan menerapkan operasi militer di Aceh pada 19 Mei 2003 (Darmansjah Djumala, 2013:134).

Selama satu tahun penerapan darurat militer di Aceh tidak mampu menghentikan perlawanan GAM, meskipun sebanyak 1.963 pasukan GAM telah tewas dan 1.276 pucuk senjata dari berbagai jenis disita (KontraS, 2006:122). Namun Pemerintah tidak berhasil juga menumpas pasukan GAM, lalu mulai 19 Mei 2004 memperpanjang kembali status Darurat Sipil di Aceh, hingga terjadinya bencana dahsyat gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004.

Melihat kondisi Aceh dalam bencana besar dan ratusan ribu masyarakat menjadi korban, ditambah desakan dari berbagai pihak, akhirnya Pemerintah RI sepakat untuk menghentikan konflik Aceh yang telah berlangsung sejak 1976. Perundingan kali ini dimediasi oleh CMI(Crisis Management Initiative) pimpinan Martti Ahtisaari. Perundingan ini melahirkan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005, dimana kedua belah pihak sepakat menghentikan pertikaian permanen dan menyelesaikan konflik Aceh dengan damai.

Kekuatan MoU Helsinki

Satu sumber utama hukum internasional dan telah menjadi prinsip hukum umum (general principles of law) adalah perjanjian, yang mengikat para pihak. Pasal 26 Konvensi Wina 1969 menyebutkan: “Tiap-tiap perjanjian yang berlaku mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan itikat baik (in good faith)”. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wina pada pada era Presiden BJ Habibie tahun 2000.

UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional menyebutkan, setiap perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Dalam pembahasan penyusunan Konvensi Wina 1969, Komisi Hukum Internasional (The International Law Commision) tidak menentukan sebuah perjanjian internasional berdasarkan nomenklatur-nya, akan tetapi ditentukan oleh materi dan kesepakatan para pihak. Hingga kini belum ada kata sepakat di kalangan pakar hukum internasional terhadap pemakaiannomenklatur tersebut, namun yang lebih penting dari suatu perjanjian adalah bukan nomenklaturnya, tetapi komitmen, materi dan itikat baik para pihak.

Konvensi Wina dan yurisprudensi tidak menempatkan nomenklaturdokumen perjanjian sebagai faktor penentu karena hal tersebut bersifat dinamis dan variatif. Meskipun pemakaian nomenklatur perjanjian tertentu seringkali menunjukkan materi perjanjian memiliki bobot yang berbeda tingkatannya (Damos Dumoli Agusman, 2010:36-37). Oleh karena itu, para pihak boleh saja menggunakan nomenklatur tertentu dalam sebuah perjanjian internasional, namun harus memenuhi beberapa unsur: kata sepakat, subjek-subjek hukum, bentuknya tertulis, objek tertentu, dan tunduk pada hukum internasional (I Wayan Parthiana, 2002:14).

Satu keuntungan menggunakan nomenklatur MoU adalah tidak diperlukan ratifikasi lagi dan tidak memerlukan adanya perjanjian induk serta bisa menimbulkan akibat hukum, yakni terikat dengan apa yang disepakati (Dedi Supriyadi, 2013:54). Dalam praktik di Indonesia, penggunaan nomenklatur MoU dalam sebuah perjanjian bersifat politis untuk menghindari penggunaan agreement yang dinilai dianggap lebih formal dan mengikat (Dumos Dumoli Agusman, 2010:37). Selanjutnya dijelaskna, parameter utama sebuah perjanjian dapat dikatagorikan sebagai sebuah perjanjian internasional adalah: (1) perjanjian tersebut harus berkarakter internasional; (2) perjanjian tersebut haris dibuat oleh negara dan/atau organisasi internasional termasuk subjek hukum internasional lainnya; dan (3) perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional. Kemudian suatu perjanjian internasional harus memiliki pola struktur perjanjian internasional pada umumnya, seperti: (1) judul (nomenklatur); (2) preamble (tujuan perjanjian); (3) klausula substantif; (4) klausula formal; (5) pembuktian formal; dan (6) tanda tangan delegasi (Damos Dumoli Agusman, 2010:20)

Dalam MoU Helsinki terdapat klausula substantif (dispositive provisions) mengenai penyelenggara pemerintah di Aceh, hak asasi manusia, pengaturan keamanan, pembentukan misi monitoring, dan penyelesaian perselisihan. Dalam MoU Helsinki juga menyebutkan klausula formal atau klausula final (klausula protokoler), yaitu: (1) adanya penjadwalan waktu penandatangan MoU, yaitu pada 15 Agustus 2005; (2) MoU Helsinki dibuat berdasarkan konsep hukum perjanjian internasional, yakni Konvensi Wina 1969; (3) pemerintah RI dan GAM mewakili subjek hukum masing-masing; (4) poin-poin MoU Helsinki dapat berlaku dengan baik dan tidak memiliki hambatan signifikan; (5) meskipun MoU Helsinki hanya diwakili dan ditandatangani oleh dua orang saja yang mewakili subjek hukum masing-masing, namun masyarakat Indonesia dan masyarakat Aceh mematuhi nota kesepahaman tersebut; (6) klasul MoU Helsinki menggunakan bahasa resmi dunia internasional, yaitu bahasa Inggris; (7) dengan penandatangan MoU Helsinki, konflik di Aceh telah berhenti.

Selanjutnya pembuktian formal, yaitu pengakuan atau pembenaran terhadap penanda-tanganan perjanjian internasional. Bagian inilah yang memuat hal-hal yang bersifat testimonium. Selain itu juga dimuat tanggal dan tempat penandatanganan perjanjian internasional. Pada akhir seluruh klausul kesepakatan, para pihak mewakili subjek hukum masing-masing menandatangi perjanjian tersebut tanpa intimidasi dan tekanan dari pihak manapun. Pengertian perjanjian internasional berdasarkan Konvensi Wina, setidaknya harus memiliki unsur-unsur: (1) melibatkan dua negara atau dua subjek hukum (2) harus ditandatangi oleh kedua belah pihak; (3) dalam bentuk tertulis; (4) diatur oleh hukum internasional; dan (5) dibuat dalam satu atau dua instrumen.

Berdasarkan karakter dan premis di atas jelas bahwa MoU Helsinki termasuk dalam perjanjian internasional. Perjanjian dilakukan oleh dua subjek hukum internasional, yaitu Pemerintah RI-GAM, dibuat dalam bentuk dan nama MoU. Kemudian perjanjian tersebut mengacu kepada hukum internasional dan dibuat secara tertulis serta ditandatangani oleh masing-masing delegasi resmi, yaitu Hamid Awaluddin mewakili Pemerintah RI dan Malik Mahmud mewakili GAM. Semoga perdamaian yang kini telah beryusia 9 tahun dapat terus lestari sepanjang masa, dan para pihak tidak melanggar satu pun klausul yang telah disepakati. Semoga!


Yusuf Al-Qardhawy Al-Asyi, S.HI., M.H., Penulis buku “Status Aceh dalam NKRI Pasca MoU Helsinki Menurut Hukum Internasional. Email: thebeeislam@ymail.com

Sumber : www.serambinews.com, edisi Sabtu, 16 Agustus 2014.



Hidupkan Kembali Gagasan NEFOS Bung Karno

Hidupkan Kembali Gagasan NEFOS Bung Karno
Penulis : Ferdiansyah Ali (Program Manager Global Future Institute)


(Mengenang Pidato Bung Karno Di Sidang Umum PBB, 30 September 1960)

“Lebih dari pada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Camkanlah, kami mengagumi kedua ajaran itu, dan kami telah banyak belajar dari keduanya itu dan kami telah diilhami, oleh keduanya itu… tetapi dunia ini tidaklah seluruhnya terbagi dalam dua pihak...”

Langkahnya tegap. Tampak aura kepercayaan diri yang tinggi terpancar. Dengan seragam putih-putihnya yang khas. Dan kepalanya berkopiah hitam dengan dimiringkan sedikit kekiri sebagai tanda bentuk ‘perlawanan’. Bung Karno berbicara di depan Majelis Umum PBB pada tanggal 30 September 1960. Dengan nadanya yang bergetar dan mendapatkan sejumlah applaus dari para audiens, Bung Karno menawarkan gagasan briliannya, “To Build the World A New”.

“Kita menginginkan satu Dunia Baru penuh dengan perdamaian den kesejahteraan, satu Dunia Baru tanpa imperialisme dan kolonialisme dan exploitation de l'homme par l'homme et de nation par nation.”

Kemudian Bung Karno melanjutkannya, “….lebih dari pada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence. Camkanlah, kami mengagumi kedua ajaran itu, dan kami telah banyak belajar dari keduanya itu dan kami telah diilhami, oleh keduanya itu… tetapi dunia ini tidaklah seluruhnya terbagi dalam dua pihak...”

Dengan retorika yang sangat cerdas, setiap pernyataan Bung Karno mendapat sambutan hangat dari negara-negara berkembang yang ketika itu hadir. Mereka menganggap pernyataan tersebut dianggap relevan mewakili sikap dan pandangannya.

Bung Karno mengutarakan sebuah gagasan briliannya, dimana salah satunya adalah dengan pembagian dunia menjadi dua blok. Yaitu blok Old Established Forces (OLDEFOS) yang diartikan sebagai kekuatan lama yang masih bercokol, yang secara kasar diartikan sebagai negara imperalis dan kapitalis. Kemudian blok The New Emerging Forces (NEFOS) yang diartikan sebagai kekuatan baru yang sedang lahir, dengan menggalang kekuatan dari negara-negara berkembang yang masih memperjuangkan kemerdekaannya. 

Adanya dua kekuatan ketika itu, yaitu blok kapitalis yang berkubu pada Amerika Serikat, dan blok sosialis yang berkubu pada Uni Soviet, dimanaequilibrium global ketika itu mau tidak mau hanya diatur antara kedua kekuatan tersebut. Mereka hanya meyakini bahwa terciptanya sebuah perdamaian dunia diukur melalui sebuah perlombaan adu senjata yang seimbang, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Perimbangan dunia dalam mengamankan dunia dari ancaman instabilitas ini hanya berdasarkan dari perhitungan secara matematis. Pada akhirnya itulah yang menjadi alasan lahirnya NATO dan Pakta Warsawa.

Sebenarnya gagasan Bung Karno ini sekaligus menolak analisis yang disampaikan Mao Tse Tung dengan konsep “Dunia Ketiga”. Mao membagi dunia menjadi tiga blok. Pertama blok negara-negara industri kapitalis. Kemudian kedua blok negara-negara sosialis, dan ketiga adalah blok “Dunia Ketiga”. Memang istilah “Dunia Ketiga” ini menjadi perbendaharaan kata politik dunia hingga saat ini. Akan tetapi perkembangan pergulatan politik dunia saat ini lebih akurat seperti yang digambarkan oleh Bung Karno. Semenjak runtuhnya Uni Soviet, negara-negara eks blok sosialis kini berperan sebagai pemerintahan progresif negara berkembang. Sementara Kuba dan Vietnam tidak lagi mencerminkan sebagai blok sosialis tetapi bergerak sebagai bagian perlawanan negara berkembang.

Pergulatan Politik Dunia Kini

Tsunami politik yang terjadi di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara begitu menyentak negara-negara Barat. Besarnya protes rakyat yang mengguncang kawasan tersebut membuat perubahan perimbangan kekuasaan. Negara Barat, yang sejatinya dikatagorikan dalam blok oldefos, mulai merasakan kekhawatiran dan kecemasannya. Dengan menggunakan berbagai cara mereka berusaha untuk tetap menancapkan pengaruhnya di kawasan ini. 

Bisa dilihat ketika negara barat merasa tidak lagi mampu ‘menguasai’ Khadafi, mereka menggunakan resolusi DK PBB No. 1973 untuk melakukan invasi ke Libya. Bahkan kemungkinan akan mempersenjatai kaum revolusi Libya. Kemudian pada kondisi di Bahrain, mereka memiliki sikap yang berbeda dalam menyikapi intervensi militer asing untuk menumpas aksi protes rakyat yang dilakukan secara damai. Bahkan cenderung mendiamkannya.

Tindakan semau-maunya yang dilakukan oleh negara barat untuk menyelematkan kepentingannya yang berada di negara berdaulat ini bukan kali pertama. Pada September 2010, dalam serbuan yang berlangsung di Provinsi Ghazni sebelah barat daya Kabul, militer pimpinan Pakta Atlantik Utara (NATO) melancarkan serangan udaranya dalam serangan udara selama pertempuran dengan Taliban. Tak kalah ironisnya, pada tahun 2003 dengan alasan Irak memiliki senjata pemusnah massal, Amerika Serikat dan sekutunya menyerang Irak. Ratusan ribu orang tewas, rezim Saddam Hussein pun runtuh.

Dunia tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada kekuatan yang mampu memainkan equilibrium global. Dunia hanya digiring oleh Amerika dan para sekutunya untuk ‘memahami’ intervensi militer yang dilakukannya di beberapa negara berdaulat. Bila hal ini terus berlanjut, maka analisis Hendrajit dalam tulisannya “Krisis Timur Tengah, Minyak dan Operasi Siluman” bahwa apa yang sedang terjadi di dunia saat ini, termasuk yang sedang bergolak di Libya dan Bahrain, merupakan operasi siluman dari hajatan kedua pengusaha minyak, yaitu konglomerat besar Rockefeller dan Rothschild, terus berjalan tanpa dapat dihentikan.

Gagasan NEFOS Saatnya Di Hadirkan

Dunia sudah seharusnya tidak lagi menutup mata terhadap apa yang dilakukan oleh negara-negara barat. Sudah saatnya perlu dihadirkan kekuatan penyeimbang yang mampu menjaga stabiitas perdamaian dunia. Harus ada kekuatan yang mampu menghentikan, atau paling tidak mengimbangi, dari keangkuhan negara industri kapitalis yang merupakan perwujudan dari negara-negara blok oldefos. Perlu adanya penataan ulang dunia yang lebih baik. Penataan yang jauh dari upaya-upaya penginjak-injakkan hak bangsa, penataan dunia yang lebih berprikemanusiaan. 

Indonesia, sebagai pelopor yang melahirkan gagasan The New Emerging Forces (NEFOS) dari putra bangsa terbaiknya, harus memulai menawarkan gagasannya. Sebagai sebuah negara besar, dengan wilayah geopilitik yang sangat strategis dan sumber daya alam yang sangat melimpah, bukan hal yang tidak mungkin dilakukan Indonesia dalam memimpin perubahan sebuah peradaban dunia yang baru. 

Pada tingkatan kawasan terkecil, sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara, posisi Indonesia masih menjadi penentu. Indonesia, relatif bersahabat dengan semua negara. Mulai dengan Rusia, Amerika Serikat, China, Jepang, korea, India, Iran, dan negara-negara lainnya. Indonesia mampu menjadi kekuatan penyeimbang tersebut. 

Beberapa fakta yang tidak mungkin bisa dibantah lagi adalah, pertama, Indonesia merupakan negara berpenduduk terbesar ke empat di dunia. Kedua, Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ke tiga di dunia setelah India dan AS sendiri. Ketiga, Indonesia adalah negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Dan yang keempat, Indonesia adalah negara terbesar di antara sepuluh negara anggota ASEAN.

Dengan ‘modal’ sebagai negara muslim terbesar, Indonesia memiliki kesempatan emas memainkan peranan penting dalam upaya mencari jalan perdamaian di kawasan Timur Tengah yang saat ini penuh dengan konflik. Bersahabatnya Indonesia dengan Amerika Serikat dan sekaligus dengan Iran, merupakan point plus dalam menjembatani sebagai mediator pada konflik kedua negara tersebut. Belum lagi pada kondisi konflik di Palestina, dimana Indonesia memiliki hubungan yang relative baik dengan kedua kubu yang sedang bertikai, yaitu kubu Fatah (yang didukung oleh Barat) dengan kubu Hamas (yang didukung oleh Iran dan Syria).

Inilah saatnya Indonesia untuk berperan aktif dalam pergelutan politik internasional, tidak selalu berperan dengan gaya ‘low profile’ nya yang selama ini dijalankan. Dengan mengambil peran sebagai kekuatan keseimbangan, Indonesia bisa bergerak dari satu pijakan ke pijakan lain tanpa perlu khawatir. Justru mampu berdiri di depan dalam menciptakan keseimbangan di kawasan.

Gagasan NEFOS yang disampaikan Bung Karno sangatlah tepat untuk segera diimplementasikan di era kini. Gagasannya yang visioner sangatlah akurat dalam menggambarkan kondisi politik dunia saat ini. Sekiranya Bung Karno masih hidup, bisa kita bayangkan betapa gembira hatinya karena melihat bila perjuangan revolusionernya yang telah ditekuni selama hidupnya dalam penentangan kolonialisme dan imperialisme mulai terlihat dan adanya kemajuan-kemajuan yang cukup besar.

Inti dari seluruh gagasan Bung Karno secara jelas terangkum dalam pidato pembukaan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada April 1955. 

“Dan saya minta kepada Tuan-tuan, janganlah hendaknya melihat kolonialisme dalam bentuk klasiknya saja, seperti yang kita di Indonesia dan saudara-saudara kita di berbagai wilayah Asia-Afrika mengenalnya. Kolonialisme mempunyai juga baju modern, dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan intelektuil, penguasaan materiil yang nyata, dilakukan oleh sekumpulan kecil orang-orang asing yang tinggal di tengah-tengah rakyat…
Di mana, bilamana dan bagaimanapun ia muncul, kolonialisme adalah yang jahat, yang harus dilenyapkan dari muka bumi." 

Begitulah. Pidato Bung Karno inilah yang menjiwai lahirnya Dasa Sila Bandung, khususnya bagian D sub I-a, yang akhirnya terumuskan dalam kalimat:“Kolonialisme dalam segala manifestasinya adalah suatu kejahatan yang harus segera diakhiri.”
Sumber : http://www.theglobal-review.com/

Kamis, 16 Oktober 2014

Menolak KKR, Mereproduksi Konflik

(Respons atas Rekomendasi Mendagri)

Oleh Zulfikar Muhammad

SEMANGAT para pegiat demokrasi Aceh untuk mengaktifkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di wilayah ini akhirnya pudar sudah. Qanun Aceh No.17 Tahun 2013 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, yang telah disahkan oleh DPRA dan Pemerintah Aceh pada Desember tahun lalu bukan hanya dimentahkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Bahkan Qanun KKR ini bernasib naas karena Pimpinan DPRA yang notabenenya petinggi Partai PA, Partai Golkar, Parta Demokrat meminta komisi A DPRA untuk menunda pembentukan Panitia Seleksi KKR untuk waktu yang takterbatas.

Dalam surat klarifikasinya kepada Gubernur Aceh pada April lalu, Mendagri Gamawan Fauzi menegaskan bahwa Qanun KKR Aceh belum bisa diberlakukan di Aceh. Alasannya sangat membingungkan. Satu sisi Mendagri mengatakan bahwa Qanun KKR Aceh hanya bisa berlaku kalau sudah ada UU KKR sebagaimana ketentuan Pasal 229 UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Tapi di sisi lain ia mengatakan kalau persoalan Qanun KKR Aceh itu karena masalah substansi yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan peraturan daerah. Karena alasan itu, Mendagri meminta Gubernur Aceh berkoordinasi dengan DPR Aceh untuk merevisi qanun tersebut.

Dari rekomendasi ini terihat kalau Mendagri bersikap ambigu terhadap qanun tersebut. Padahal kalau ia hanya merujuk kepada Pasal 229 UUPA, harusnya alasan lain tidak perlu digunakan lagi. Pasal 229 itu menyatakan kalau KKR Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dari KKR nasional. Artinya, sebelum terbentuk KKR Nasional, maka KKR Aceh belum bisa dibentuk. Dengan alasan ini saja, sebenarnya sudah cukup bagi Mendagri untuk menegaskan bahwa Qanun KKR Aceh ditolak Pemerintah pusat. Tidak perlu lagi ia berkomentar soal substansi qanun itu. Ia pun tidak perlu meminta Gubernur Aceh dan DPRA merevisi qanun itu. Dengan kata lain, sebenarnya Pemerintah pusat tidak setuju KKR hadir di Indonesia, khususnya di Aceh.

Kalaupun klausul KKR ini sempat masuk dalam MoU Helsinki dan UUPA, semata-mata hanya untuk memuluskan proses dialog sekaligus untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Pemerintah Indonesia memiliki niat untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Namun semua itu hanya retorika di atas kertas. Pada kenyataannya, tidak ada niat pemerintah untuk menghadirkan KKR di Indonesia, apalagi Aceh. Padahal dalam Pasal 260 UUPA ditegaskan “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 berlaku efektif paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.” Karena UUPA disahkan pada 1 Agustus 2006, maka seharusnya KKR Aceh sudah bekerja sejak 1 Agustus 2007.

Mendagri tidak jujur

Mendagri hanya mengandalkan Pasal 229 UUPA untuk mementahkan KKR Aceh. Sebaliknya, ia sama sekali tidak mau mengungkit Pasal 260 ini. Sebagai seorang pejabat negara yang harusnya objektif melihat UU, jelas sekali kalau Mendagri tidak jujur. Ia tidak jujur mengakui kesalahan Pemerintah atas ingkar janji sebagaimana ditegaskan dalam UU, tapi mencari seribu alasan untuk membatalkan KKR yang diperjuangkan rakyat Aceh. Sikap ini sebenarnya sudah cukup untuk menjawab bahwa peluang menghadirkan KKR di Aceh semakin kecil kemungkinannya. Kalaupun itu ada, cara yang diinginkan pemerintah adalah masyarakat Aceh menunggu sampai draf UU KKR disahkan DPR RI. Tapi kapan pengesahan itu?

Sejak dua tahun lalu Pemerintah mengaku sudah menyiapkan draf tersebut, tapi sampai sekarang tidak ada bukti. DPR RI juga belum pernah mengagendakan untuk membahas rancangan UU KKR. Itu berarti, rakyat Aceh harus menunggu dalam ketidakpastian, sebab Pemerintah telah mengunci KKR Aceh dengan pasal 229 UUPA. Padahal dalam pandangan para hukum, Pasal 229 itu bukanlah pintu untuk membentuk KKR Aceh. Dalam Pasal 7 ayat (1) UUPA menegaskan kalau “Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.”

Sementara dalam ayat (2) ditegaskan pula enam kewenangan yang tidak bisa ditangani Pemerintah Aceh, yakni politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. Enam kewenangan sepenuhnya menjadi otoritas pemerintah pusat. Artinya, untuk pembuatan qanun atau peraturan daerah yang bukan merupakan urusan pemerintahan bersifat Nasional, menjadi kewenangan Pemerintah Aceh. Atas dasar ini pula Pemerintah Aceh berhak melahirkan Qanun Wali Nanggroe, Qanun Bendera dan qanun lainnya.

Pintu kewenangan inilah yang digunakan Pemerintah Aceh dan DPRA dalam membahas qanun KKR. Atau dalam bahasa sederhana bisa disebutkan bahwa ada dua pintu hukum untuk melahirkan KKR di Aceh berdasarkan UUPA, yaitu Pasal 229 yang menyatakan bahwa KKR Aceh akan bisa dibentuk setelah adanya KKR Nasional, dan satunya lagi adalah berdasarkan kewenangan Aceh sebagaimana disebutkan pada Pasal 7 UUPA. Karena Pasal 229 tidak mungkin digunakan saat ini, maka wajar kalau DPRA dan Pemerintah Aceh menggunakan jalur Pasal 7.

Jika Mendagri mengatakan bahwa KKR hanya bisa dibentuk berdasarkan Pasal 229, jelas itu pandangan keliru. Alasan ini hanya untuk menunjukkan kepada publik bahwa sesungguhnya Pemerintah keberatan jika KKR hadir di negeri ini. Kehadiran KKR dikhawatirkan bisa mencoreng muka pemerintahan Indonesia di masa lalu yang kental dengan berbagai kasus pelanggaran HAM. Lagi pula Pemerintah tidak ingin mengeluarkan kompensasi apa pun atas peristiwa kekerasan di masa silam. Seakan pemerintah ingin mengatakan kepada dunia bahwa tidak pernah ada pelanggaran HAM di Indonesia. Pemerintah juga ingin mengatakan bahwa persoalan Aceh telah selesai sejak ditandatanganinya perjanjian damai Helsinki dan berkuasanya para elite GAM.

Padahal film dokumenter The Art of Killing karya Joshua Oppenheime telah nyata-nyata menelanjangi wajah Pemerintah Indonesia di mata dunia terkait sejumlah kasus pembantaian yang terjadi di Republik ini. Tidak terkecuali pembantaian di Aceh. Data BRA menyebutkan, sejak konflik Aceh meradang pada 1976 hingga 2005 setidaknya lebih dari 23 ribu korban yang tewas dan ribuan orang yang mengalami cacat fisik. Dendam para korban konflik itu tidak akan pernah reda meski telah lahir kesepakatan damai. 

Perjanjian damai hanyalah untuk menghentikan perang, bukan menghapus dendam. Secara psikologis, sikap dendam hanya bisa dihilangkan jika ada proses rekonsiliasi konkrit melibatkan pelaku dan korban atau keluarganya. Sayangnya, selama hampir sepuluh tahun perdamaian Aceh, proses rekonsiliasi sama sekali belum pernah dilakukan. Sejauh ini yang dilakukan hanya reparasi, seperti mengobati orang yang luka, mengganti rumah yang terbakar, serta memberi kompensasi uang untuk keluarga korban.

Dalam teori transisi konflik, reparasi ini jelas tidak cukup menuntaskan dendam. Ada tiga langkah lain yang perlu dilakukan untuk melengkapinya, yaitu lewat pengungkapan kebenaran, proses rekonsiliasi dan melakukan reformasi insititusi. Sejauh ini reformasi institusi sedang berjalan. Seperti yang kita dengar, TNI dan Polri sudah melakukan berbagai perubahan kebijakan di internalnya.

Demikian juga dengan sistem pemerintah yang sedang gencar-gencarnya melakukan reformasi birokrasi. Namun untuk dua langkah lainnya, yaitu pengungkapan kebenaran melalui KKR dan rekonsiliasi nyaris tidak pernah ada. Jika Pemerintah menolak kedua langkah ini, itu artinya Pemerintah masih ingin menghadirkan dendam di kalangan keluarga korban. Dengan lain, penolakan KKR merupakan kebijakan Pemerintah dalam mereproduksi konflik, sehingga bukan tidak mungkin konflik yang sama muncul lagi di masa depan.



*Zulfikar Muhammad, Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh.
Email: zulfikar@koalisi-ham.org

Sumber ( www.serambinews.com/ Edisi Kamis 17 Juli 2014)



Selasa, 14 Oktober 2014

Bahan Diskusi Famkap, Rabu 15 Oktober 2014



Bahan Diskusi FAMKAP, 15 Oktober 2014

FURQAN - Mahasiswa Ilmu Politik Unsyiah

A. ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA) dan INDONESIA

ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. AFTA dibentuk pada waktu Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN FreeTrade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002.Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area ( CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk mewujudkan AFTA melalui : penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kwantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand, dan bagi Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015. 


B. GAMBARAN UMUM AFTA

1. Lahirnya AFTA

Pada pertemuan tingkat Kepala Negara ASEAN (ASEAN Summit) ke-4 di Singapura pada tahun 1992, para kepala negara mengumumkan pembentukan suatu kawasan perdagangan bebas di ASEAN (AFTA) dalam jangka waktu 15 tahun. 

2. Tujuan dari AFTA

menjadikan kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif sehingga produk ASEAN memiliki daya saing kuat di pasar global. menarik lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI). meningkatkan perdagangan antar negara anggota ASEAN (intra-ASEAN Trade). 

3. Jangka Waktu Realisasi AFTA
KTT ASEAN ke-9 tanggal 7-8 Oktober 2003 di Bali, dimana enam negara anggota ASEAN Original Signatories of CEPT AFTA yaitu Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura dan Thailand, sepakat untuk mencapai target bea masuk dengan tingkat tarif 0% minimal 60% dari Inclusion List (IL) tahun 2003; bea masuk dengan tingkat tarif 0% minimal 80% dari Inclusion List (IL) tahun 2007; dan pada tahun 2010 seluruh tarif bea masuk dengan tingkat tarif 0% harus sudah 100% untuk anggota ASEAN yang baru, tarif 0% tahun 2006 untuk Vietnam, tahun 2008 untuk Laos dan Myanmar dan tahun 2010 untuk Cambodja. Tahun 2000 : Menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak 85% dari seluruh jumlah pos tarif dalam Inclusion List (IL). Tahun 2001 : Menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak 90% dari seluruh jumlah pos tarif dalam Inclusion List (IL). Tahun 2002 : Menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak 100% dari seluruh jumlah pos tarif dalam Inclusion List (IL), dengan fleksibilitas. Tahun 2003 : Menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak 100% dari seluruh jumlah pos tarif dalam Inclusion List (IL), tanpa fleksibilitas. Untuk ASEAN-4 (Vietnam, Laos, Myanmar dan Cambodja) realisasi AFTA dilakukan berbeda yaitu : Vietnam tahun 2006 (masuk ASEAN tanggal 28 Juli 1995). Laos dan Myanmar tahun 2008 (masuk ASEAN tanggal 23 Juli 1997). Cambodja tahun 2010 (masuk ASEAN tanggal 30 April 1999). 

4. Beberapa istilah dalam CEPT-AFTA
Fleksibilitas adalah suatu keadaan dimana ke-6 negara anggota ASEAN apabila belum siap untuk menurunkan tingkat tarif produk menjadi 0-5% pada 1 Januari 2002, dapat diturunkan pada 1 Januari 2003. Sejak saat itu tingkat tarif bea masuk dalam AFTA sebesar maksimal 5%. CEPT Produk List ·Inclusion List (IL) : daftar yang memuat cakupan produk yang harus memenuhi kriteria sebagai berikut : 

Produk tersebut harus disertai Tarif Reduction Schedule.

Tidak boleh ada Quantitave Restrictions (QRs).

Non-Tarif Barriers (NTBs) lainnya harus dihapuskan dalam waktu 5 tahun.

Temporary Exclusion (TEL) : daftar yang memuat cakupan produk yang sementara dibebaskan dari kewajiban penurunan tarif, penghapusan QRs dan NTBs lainnya serta secara bertahap harus dimasukkan ke dalam IL. 

Sensitive List (SL) : daftar yang memuat cakupan produk yang diklasifikasikan sebagai Unprocessed Agricultural Products. Contohnya beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, dan cengkeh, serta produk tersebut juga harus dimasukkan ke dalam CEPT Scheme tetapi dengan jangka waktu yang lebih lama. Contohnya Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand harus telah memasukkan produk yang ada dalam SL ke dalam IL pada tahun 2010, Vietnam pada tahun 2013, Laos dan Myanmar pada tahun 2015, serta Kamboja pada tahun 2017. 

General Exception (GE) List : daftar yang memuat cakupan produk yang secara permanen tidak perlu untuk dimasukkan ke dalam CEPT Scheme dengan alas an keamanan nasional, keselamatan/kesehatan umat manusia, binatang dan tumbuhan, serta pelestarian objek arkeologi, dan sebagainya (Article 9b of CEPT Agreement). Contohnya antara lain senjata, amunisi, da narkotika. Produk Indonesia dalam GE List hingga saat ini sebanyak 96 pos tarif. 


5. Jadwal Penurunan dan atau Penghapusan Tarif Bea Masuk

a. Inclusion List

Negara Anggota AFTA
Jadwal Penurunan/Penghapusan

ASEAN -6
Tahun 2003 : 60% produk dengan tarif 0%
Tahun 2007 : 80% produk dengan tarif 0%
Tahun 2010 : 100% produk dengan tarif 0%

Vietnam
Tahun 2006 : 60% produk dengan tarif 0%
Tahun 2010 : 80% produk dengan tarif 0%
Tahun 2015 : 100% produk dengan tarif 0%

Laos dan Myanmar
Tahun 2008 : 60% produk dengan tarif 0%
Tahun 2012 : 80% produk dengan tarif 0%
Tahun 2015 : 100% produk dengan tarif 0%

Kamboja
Tahun 2010 : 60% produk dengan tarif 0%
Tahun 2015 : 100% produk dengan tarif 0%


b. Non Inclusion list

§ TEL harus dipindah ke IL

§ GEL dapat dipertahankan apabila konsisten dengan artikel 9 CEPT Agreement, yaitu untuk melindungi :

§ Keamanan Nasional

§ Moral

§ Kehidupan Manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan dan kesehatan

§ Benda-benda seni, bersejarah dan purbakala


AFTA, PELUANG DAN TANTANGAN SEKALIGUS ANCAMAN 
BAGI INDONESIA PADA 2015

Peluang, Tantangan, dan Ancaman

Dengan dibentuknya AFTA dan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015, tentu berdampak pada munculnya peluang, tantangan, dan ancaman bagi Indonesia. Diantaranya adalah sebagai berikut :

Peluang :

Manfaat integrasi ekonomi
Kesediaan Indonesia bersama-sama dengan 9 Negara ASEAN lainnya membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015 tentu saja didasarkan pada keyakinan atas manfaatnya yang secara konseptual akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan kawasan ASEAN.

Pasar potensial dunia
Pewujudan MEA di tahun 2015 akan menempatkan ASEAN sebagai kawasan pasar terbesar ke-3 di dunia yang didukung oleh jumlah penduduk ke-3 terbesar (8% dari total penduduk dunia) di dunia setelah China dan India.


Negara pengekspor
Negara-negara di kawasan ASEAN juga dikenal sebagai negara-negara pengekspor baik produk berbasis sumber daya alam (seperti agro-based products) maupun berbagai produk elektronik.

Negara tujuan investor
Uraian tersebut di atas merupakan fakta yang menunjukkan bahwa ASEAN merupakan pasar dan memiliki basis produksi. Fakta-fakta tersebut merupakan faktor yang mendorong meningkatnya investasi di dalam dalam negeri masing-masing anggota dan intra-ASEAN serta masuknya investasi asing ke kawasan.

Daya saing
Liberalisasi perdagangan barang ASEAN akan menjamin kelancaran arus barang untuk pasokan bahan baku maupun bahan jadi di kawasan ASEAN karena hambatan tarif dan non-tarif yang berarti sudah tidak ada lagi.
Sektor jasa yang terbuka
Di bidang jasa, ASEAN juga memiliki kondisi yang memungkinkan agar pengembangan sektor jasa dapat dibuka seluas-luasnya. Sektor-sektor jasa prioritas yang telah ditetapkan yaitu pariwisata, kesehatan, penerbangan dan kemudian akan disusul dengan logistik.

Aliran modal
Dari sisi penarikan aliran modal asing, ASEAN sebagai kawasan dikenal sebagai tujuan penanaman modal global.

Tantangan :

Laju peningkatan ekspor dan impor
Tantangan yang dihadapi oleh Indonesia memasuki integrasi ekonomi ASEAN tidak hanya yang bersifat internal di dalam negeri tetapi terlebih lagi persaingan dengan negara sesama ASEAN dan negara lain di luar ASEAN seperti China dan India.

Laju inflasi
Tantangan lainnya adalah laju inflasi Indonesia yang masih tergolong tinggi bila dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN.
Dampak negatif arus modal yang lebih bebas
Proses liberalisasi arus modal dapat menimbulkan ketidakstabilan melalui dampak langsungnya pada kemungkinan pembalikan arus modal yang tiba-tiba maupun dampak tidak langsungnya pada peningkatan permintaaan domestik yang akhirnya berujung pada tekanan inflasi.

Kesamaan produk
Kesamaan jenis produk ekspor unggulan ini merupakan salah satu penyebab pangsa perdagangan intra-ASEAN yang hanya berkisar 20-25 persen dari total perdagangan ASEAN.
Daya saing sektor prioritas integrasi
Saat ini Indonesia memiliki keunggulan di sektor/komoditi seperti produk berbasis kayu, pertanian, minyak sawit, perikanan, produk karet dan elektronik, sedangkan untuk tekstil, elektronik, mineral (tembaga, batu bara, nikel), mesin-mesin, produk kimia, karet dan kertas masih dengan tingkat keunggulan yang terbatas.

Daya saing SDM
Kemapuan bersaing SDM tenaga kerja Indonesia harus ditingkatkan baik secara formal maupun informal.

Tingkat perkembangan ekonomi
Tingkat perkembangan ekonomi Negara-negara Anggota ASEAN hingga saat ini masih beragam.

Kepentingan nasional
Disadari bahwa dalam rangka integrasi ekonomi, kepentingan nasional merupakan yang utama yang harus diamankan oleh Negara Anggota ASEAN. Kepentingan kawasan, apabila tidak sejalan dengan kepentingan nasional, merupakan prioritas kedua.

Kedaulatan negara
Integrasi ekonomi ASEAN membatasi kewenangan suatu negara untuk menggunakan kebijakan fiskal, keuangan dan moneter untuk mendorong kinerja ekonomi dalam negeri.

Ancaman :
Sumber daya manusia Indonesia sedang terancam dari berbagai sisi, antara lain integrasi mobilitas tenaga kerja kawasan ASEAN melalui kesepakatan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), teknologi yang semakin berkembang dan perdagangan bebas yang menyebabkan membanjirnya produk luar di Indonesia. Rendahnya kualitas tenaga kerja Indonesia disebabkan karena sistem diklat yang masih berorientasi pada pendekatan “supply driven”. Program diklat yang dikembangkan oleh lembaga diklat pemerintah dan swasta belum mengacu kepada kebutuhan pasar kerja. Akibatnya terjadi kesenjangan yang semakin lebar antara kualitas tenaga kerja yang dihasilkan oleh lembaga diklat dengan kualitas yang dibutuhkan oleh dunia usaha/industri.

Selain masalah itu, dengan adanya pasar tunggal ASEAN ini juga mengancam eksistensi usaha sekaligus SDM lokal. Selama ini Indonesia lebih banyak berperan sebagai pasar empuk bagi produk-produk luar. Berbagai produk negara lain membanjiri Indonesia mulai dari makanan, fashion, otomotif dan elektronik. Produk-produk itu sangat kompetitif baik dari segi kualitas maupun harga sehingga produk dalam negeri menjadi kurang berkembang akibat kalah bersaing. Sejauh ini mayoritas pemerintah daerah tidak mengetahui mengenai rencana diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean sehingga banyak pengusaha di daerah lebih kesulitan mempersiapkan diri. Di sisi lain, para pengusaha asal Malaysia, Vietnam, dan Thailand saat ini aktif memperkenalkan produknya kepada pasar Indonesia.


Kesimpulan
Dalam mewujudkan Masyarakat Ekonomi ASEAN ini Indonesia memiliki peluang yang besar untuk dapat bersaing dengan Negara ASEAN lainnya . Akan tetapi perlu diingat bahwa selain peluang Indonesia juga akan dihadapkan dengan berbagai tantangan dan juga ancaman yang mungkin bisa menghambat Indonesia untuk dapat bersaing dengan Negara ASEAN lainnya. Untuk dapat memanfaatkan peluang serta mengantisispasi terjadinya ancaman itu maka pemerintah harus memersiapkan diri untuk menyongsong era “Masyarakat Ekonomi Asean” ini dengan mempercepat pembangunan di berbagai infrastruktur, jaringan logistik, ketersediaan energi dan konektivitas untuk meningkatkan daya saing pengusaha domestik. Selain itu pemerintah harus mampu merancang skema yang dianggap paling menguntungkan bagi perekonomian nasional. Pemerintah harus segera menyususun langkah yang strategis yang dapat diimplementasikan secara spesifik agar peluang pasar yang terbuka dapat dimanfaatkan secara optimal. Jika tidak, Indonesia hanya akan jadi pasar bagi produk-produk Thailand, Malaysia, dan Singapura saat Asean Economic Community berlaku pada 2015.

SEKIAN

Sabtu, 30 Agustus 2014

Peneliti Asal AS Sebut Aceh Terlalu Cepat Serahkan Senjata

Peneliti Asal AS Sebut Aceh Terlalu Cepat Serahkan Senjata




KAT - Maka artikel Jason ditutup dengan satu nasehat bagi para pemberontak di seluruh dunia: jangan serahkan senjata anda sebelum segala sesuatuya jelas. Implikasinya menyedihkan!


"Don't Lay Down Your Arms, Aceh Edition." Jangan serahkan senjata anda! Begitulah Jason Sorens memberi judul tulisannya yang dipublikasikan kemarin, 21 Agustus 2014. Jason adalah peneliti dari Dartmouth College: perguruan tinggi swasta di Hanover, New Hampshire, Amerika Serikat. Ia baru saja menyelesaikan penelitian tentang federasi dan desentralisasi di negara berkembang. Salah satu perhatiannya adalah kasus Aceh.

Judul itu terasa menyentak, jika tak mau disebut ekstrem. Dari sudut pandang pemerintah Indonesia, barangkali akan disematkan label provokatif. Bagaimana tidak, ia menyimpulkan, meskipun Aceh berstatus otonomi khusus sejak perjanjian damai diteken pada 15 Agustus 2005, namun nyatanya, hingga kini hak-hak Aceh sebagai daerah otonom masih ditahan-tahan oleh Pemerintah Pusat. Padahal, damai memasuki tahun ke sepuluh. Yang paling kasat mata: meski MoU Helsinki menyebut Aceh berhak mendapat 70 persen dari hasil kekayaan alamnya, nyatanya hingga kini pusat masih tawar-menawar meminta bagi hasil 50:50.

"Aceh bahkan tidak berhak menikmati pajak sendiri. Ini berarti otonomi Aceh jauh lebih sedikit dari, katakanlah, apa yang dinikmati oleh Rhode Island. Satu-satunya yang dinikmati Aceh adalah hak membentuk partai lokal," tulis Jason.

"Secara sepihak pemerintah Indonesia mengkhianati mantan pejuang GAM dalam hal kebijakan ekonomi disertai ancaman eksplisit: terima (aturan kami), atau kami ambil kembali."

Bagaimana hal itu bisa terjadi? " Sederhana: pemberontak turun dari gunung dan menyerahkan senjata mereka sebelum undang-undang otonomi diselesaikan. Bahkan, GAM tak bisa melakukan apapun untuk membalas pengkhiatan pemerintah," tambah Jason.

Jika merunut pada proses perjanjian damai, Jason benar. Usai MoU Helsinki diteken, berlanjut dengan penyerahan senjata GAM dan penarikan tentara Indonesia yang dilakukan bertahap. Setelah itu, barulah Undang-Undang Pemerintahan Aceh digodok. Ini pun tak sepenuhnya sama dengan MoU Helsinki. Ada debat panjang sebelum akhirnya UUPA disahkan di parlemen.

Maka artikel Jason ditutup dengan satu nasehat bagi para pemberontak di seluruh dunia: jangan serahkan senjata anda sebelum segala sesuatuya jelas. Implikasinya menyedihkan!

Dua tahun terakhir ini, ketika para pimpinan GAM duduk di puncak Pemerintahan Aceh, kita menyaksikan sendiri apa yang disebut Jason menyedihkan itu. Lihatlah, bagaimana Gubernur Aceh Zaini Abdullah dengan nada putus asa berkata dalam sebuah forum di Jakarta, awal bulan ini,"damai telah kita sepakati, mimpi memerdekakan Aceh sudah kami lupakan. Senjata GAM sudah kita potong bersama-sama. Apalagi yang harus kami korbankan supaya turunan UUPA dapat dikeluarkan?"

Kalimat itu tentu tidak lahir dari ruang kosong. Sudah berkali-kali tim Pemerintah Aceh bolak-balik ke Jakarta menuntut haknya sebagai yang dijanjikan ketika Aceh menerima Otonomi Khusus. Padahal, ketika perjanjian itu diteken, yang dibayangkan adalah Aceh punya pemerintahan sendiri, self goverment, serupa daerah otonom lain di dunia. Katakanlah seperti Macau atau Hongkong di China. Nyatanya, hingga kini persoalan bendera saja tak kunjung usai. Ini belum lagi kita bicara butir perjanjian lain yang menyebutkan Aceh berhak mengatur suku bunga bank sendiri.

Yang menyedihkan lagi, ketika Aceh menuntut hak-hak politik ini, Jakarta membenturkannya dengan isu kesejahteraan. Seolah-olah Pemerintah Aceh lebih peduli bendera daripada kesejahteraan. Padahal, logika anak kecil pun tahu, hak kesejahteraan itu tersimpan dalam bagi hasil 70:30 persen yang tak kunjung diwujudkan. Tentu, tanpa mengenyampingkan, pengelolaan dana oleh Pemerintah Aceh yang juga tak fokus arahnya kemana. Tapi itu soal lain.

Ketika isu bendera memanas tahun lalu, barulah pemerintah pusat menggelar pertemuan membahas Aceh. Lalu ketika isu bendera meredup, pembahasan tentang Aceh kembali menghilang di Jakarta.

Membaca Jason, saya teringat dengan pertemuan pada suatu sore dengan delegasi pemerintah Filipina dan pemberontak Bangsamoro sebelum mereka meneken perjanjian damai pada akhir Maret lalu. Pertemuan itu berlangsung di sebuah warung kopi di Banda Aceh. Saat itu, mereka datang ke Aceh untuk menelisik apa yang diperoleh Aceh setelah GAM merelakan senjatanya dipotong-potong.

"Kami ingin mengetahui apa saja persoalan yang muncul di Aceh sebelum kami menandatangani perjanjian damai," kata perwakilan Bagsamoro kepada saya sore itu.

Pesan dari kalimat itu jelas: mereka tak ingin ditipu setelah perjanjian diteken!
Kita tahu perjanjian damai Aceh diteken dengan tergesa-gesa setelah bencana tsunami mahadahsyat. Pimpinan GAM, meski awalnya ragu-ragu, berupaya percaya pada janji Indonesia.

Kita percaya perdamaian adalah langkah tepat. Tapi yang paling tepat, seharusnya, adalah memastikan perjanjian yang disepakati benar-benar dijalankan. 

Kita menghormati Jusuf Kalla sebagai inisiator damai Aceh. Tapi di mata saya, Kalla adalah tukang PHP. Pemberi harapan palsu, kata anak muda sekarang. Satu kalimat Jusuf Kalla yang masih membekas di benak saya,"yang penting, bikin mereka teken dulu, urusan nanti belakangan."

Kini, 10 tahun berlalu, "urusan nanti belakangan" itu tak kunjung selesai.
Sementara di Aceh, Muzakir Manaf, mantan Panglima GAM yang kini duduk sebagai Wakil Gubernur Aceh, masih memegang teguh janji damai itu. Yang saya kuatir, jika suatu ketika lelaki pendiam itu kehilangan kesabarannya. [atjehpost/Yuswardi, A. Suud]

Sumber : www.Atjehpost.com